Membangun Desa Melalui BUMDes

Oleh: Kang Warsa

SEJAK Undang-undang tentang desa diterbitkan, di dalamnya tertuang mekanisme bagaimana masyarakat perdesaan membentuk sebuah badan usaha yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat desa, telah terbentuk ribuan Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) di negara ini. Setiap Badan Usaha Milik Desa (BUMDEsa) dibentuk – tentu saja- dengan memerhatikan potensi desa yang ada. Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) Kabupaten Sukabumi telah melakukan verifikasi terhadap seluruh BUMDesa yang tersebar di 381 desa. Dari hasil verifikasi hingga bulan Desember 2016, sebanyak 38 BUMDesa telah layak disebut sebagai BUMDesa kategori B yang masih harus  diawasi sebagai bentuk monitoring dan evaluasi (MONEV)  secara simultan. Beberapa indikator telah dipenuhi oleh rata-rata BUMDesa berkategori B ini, seperti; kelengkapan administrasi, legalisasi, dan segmen usaha –rata-rata – telah dimiliki oleh ke-38 Bumdesa tersebut.

Dalam pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh Tim Ekonomi Kabupaten Sukabumi dengan Pemerintah Kabupaten Sukabumi sering dibahasakan; keberadaan BUMDesa akan menjadi salah satu lembaga penopang perekonomian masyarakat desa. Diakui ataupun tidak, sampai saat ini, desa merupakan sebuah miniatur sebuah negara. Bukan sebuah utopia jika disebutkan kemajuan sebuah negara dipengaruhi secara signifikan oleh kemajuan desa-desa yang ada di negara tersebut.

Telah banyak program yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun wilayah perdesaan. Beberapa tahun terakhir –sebelum pemerintahan Joko Widodo – pemerintah membuat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP). Sebenarnya, jika kita jeli memerhatikan kegiatan-kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan, program ini merupakan sebuah batu loncatan yang baik bagi masyarakat perdesaan untuk melangkah kepada program-program berikutnya. Di era Jokowi ini, digulirkan Anggaran Dana Desa (ADD). Program ini memang tidak melibatkan volunteer atau fasilitator secara langsung di bawah sebuah lembaga, namun pemerintah pun telah membentuk para Pendamping Desa untuk mengawal setiap program baik bersifat swadaya ataupun program yang mendapat kucuran dana dari pemerintah pusat dan daerah. 

Keberadaan badan atau lembaga-lembaga desa yang dikelola oleh masyarakat secara langsung seperti – Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang memiliki akses langsung dalam melakukan perencanaan bahkan pengelolaan keuangan terhadap bantuan-bantuan dari pemerintah pusat merupakan sebuah pembelajaran, bagaimana masyarakat perdesaan pada saatnya nanti dapat menjadi masyarakat mandiri dan membentuk lembaga yang dikelola secara mandiri pula.  

Desa bukan sekadar unggul karena memiliki varian potensi dan sumberdaya alam, juga diuntungkan oleh program-program pusat yang lebih menyisir daerah perdesaan sebagai targetnya. Tentu saja program-program dengan anggaran yang lebih dari cukup. Jika dibandingkan dengan daerah perkotaan, jumlah anggaran yang diterima oleh satu desa bisa berbanding sama dengan 5 kelurahan. Di Kota Sukabumi, pemerintah kota mengeluarkan kebijakan P2RW, jika satu RW menerima anggaran pembangunan sebesar 15 juta, bisa ditaksir, satu kelurahan hanya menerima anggaran tidak lebih di kisaran 150 - 300 juta. Sebuah desa dengan ADD mendapatkan kucuran anggaran sebesar 1 milyar lebih.

Artinya, pemerintah pusat melalui Kementerian Desa memang lebih memokuskan pembangunan-pembangunan dengan sasaran wilayah perdesaan, dilakukan demi alasan untuk mengejar ketertinggalan baik infra-struktur maupun supra-struktur yang telah dimiliki oleh wilayah perkotaan. Program-program pembangunan desa tidak dilakukan oleh pemerintah di era reformasi saja, namun telah gencar dilakukan di masa Orde Baru. Bagi desa-desa di negara ini, Pak Harto mengeluarkan kebijakan pendirian koperasi-koperasi desa seperti KUD, pemberian bibit unggul, dan subsidi pupuk. Karena bidikan di era itu lebih dititikberatkan kepada sektor pertanian. Harus diakui pada tahun 80-an, pemerintah telah berhasil membawa negara ini pada sebutan: swasembada pangan.

Bisa dikatakan, wilayah perdesaan sebenarnya terlalu sering mendapatkan perlakuan baik dari pemerintah, konsekwensinya, tentu saja hal ini harus benar-benar dimanfaatkan oleh masyarakat desa secara utuh, bukan oleh kelompok-kelompok tertentu. Paska Joko Widodo menjabat Presiden Republik Indonesia, PNPM Mandiri Perdesaan dihentikan kemudian digulirkan program baru, apakah ini merugikan masyarakat perdesaan? Tentu saja tidak, sebab desa telah menerima banyak manfaat dari program sebelumnya. Masyarakat perdesaan di era Jokowi ini harus berperan sebagai para volunteer mandiri di desanya. Sebab apa? Mereka lebih mengenal desanya sendiri daripada para volunteer atau fasilitator yang dibentuk oleh pemerintah. Fasilitator dan para pendamping hanya sebagai para konsultan saja, sementara pelaku utama pembangunan desa adalah masyarakat desa itu sendiri.

Masyarakat dan Pemerintah Desa, sesuai Undang-undang Desa memiliki kemerdekaan untuk membentuk badan usaha yang dikelola oleh mereka sendiri. Atas dasar hal tersebut, sampai saat ini telah nampak geliat masyarakat dan pemerintah desa dalam program milik mereka sendiri, Badan Usaha Milik Desa. Sebanyak 38 Badan Usaha Milik Desa yang telah diverifikasi oleh BPMPD Kabupaten Sukabumi itu memang masih harus terus-menerus melakukan pembenahan baik dari segi penguatan kelembagaan, profesionalisme para pelaku, dan komitmen-komitmen lainnya dengan masyarakat.

Satu tahun lebih sejak Marwan Hamami dan Adjo Sarjono terpilih sebagai Bupati dan Wakil Bupati Sukabumi, para Kepala Desa dan Camat telah mendorong masyarakat membangun Badan Usaha Milik Desa ini. Sebagai contoh, Desa Sukajaya sampai saat ini telah memiliki BUMDesa yang bergerak pada beberapa sektor usaha: keuangan, kuliner, perdagangan, pertanian, dan perkebunan. BUMDesa Sukajaya membuat kerjasama dengan salah satu Bank. Badan Usaha Milik Desa – pada sektor keuangan – telah memfasilitasi masyarakat dalam pembayaran-pembayaran secara online. Para pelaku UKM pun membuat terobosan baru, mereka telah mampu memasarkan prodak unggulan, sebagai salah satu contoh: kue ali pongpet. Di Desa Sirnaresmi kecamatan Gunungguruh, BUMDesa Sinar Sentosa bergerak pada sektor pertanian. Badan usaha ini memproduksi pupuk cair untuk memenuhi kebutuhan pupuk para petani setempat. 

Minggu pertama di Bulan Desember 2016, ke-38 Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) telah melakukan kesepahaman melalui Badan Perbedayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) untuk mengembangkan usaha di sector perdagangan. Jenis usaha yang akan dikembangkan yaitu warung grosir. Pemilihan jenis usaha ini dilatarbelakangi oleh tujuan keberadaan BUMDesa sendiri; sebagai mitra usaha warung-warung kecil yang ada di wilayah perdesaan. Di beberapa desa dan kecamatan memang telah berjalan jenis usaha ini, namun lebih menitikberatkan pada mini market berbentuk 'mart'. Seperti di Nagrak Kabupaten Sukabumi. Tentu saja, keberadaan Bumdes Mart merupakan langkah awal terbentuknya grosir-grosir yang akan memasok kebutuhan-kebutuhan masyarakat ke warung-warung tradisional di wilayah perdesaan.



Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Indosat.

Posting Komentar untuk "Membangun Desa Melalui BUMDes"